Rabu, 14 Oktober 2009

kisah natal

NATAL SETELAH BADAI LALU

Awal 1990-an. Di kawasan Sako Kenten Palembang. Kota yang hidup di aliran sungai Musi ini tentu saja belum seramai dan semaju sekarang. Aku diundang menghadiri perayaan natal oleh sebuah komunitas Kristen Batak. Panitia rupanya ingin membuat suatu acara natal lain dari biasa: natal di alam terbuka. Suatu ide menarik namun sedikit nekad bila memperhitungkan bulan Desember biasanya adalah musim penghujan. Namun panitia sudah menyewa tenda mengantisipasi. Amanlah artinya pikirku.


Aku tiba di lokasi perayaan seperempat jam sebelum acara dimulai. Tentu saja mengenakan pakaian formal lengkap: jas dan dasi. Saat itu aku masih sangat muda. Perasaanku: aku bukan saja gagah tetapi cukup wibawa dan kharisma sebagai pendeta muda. Diantar oleh Toman Simangunsong, panitia yang sekaligus temanku di gereja HKBP Palembang, aku duduk di baris terdepan kursi sofa yang menghadap panggung yang dibangun di suatu ruang kosong di areal perumahan menunggu acara dimulai.


Ini natal komunitas yang bukan saja saling mengenal secara pribadi, tetapi tinggal bersama di suatu perumahan menengah bawah yang masih jauh dari kemewahan. Tentu saja suasananya sangat akrab, ramah dan kekeluargaan. Tak lama, kursi-kursi sudah terisi penuh dengan wajah-wajah ceria: ayah-ayah muda usia mengenakan jas (mungkin sebagian besar jas perkawinannya) dan ibu-ibu muda mengenakan kebaya dan rambut bersasak khas Batak, anak-anak kecil berbaju renda, dan sejumlah pemuda berpakaian kasual dan gadis modis. Ingat saat itu aku belum menikah. Lengkaplah sudah sukacita.


Perayaan natal pun dimulai dengan nyanyian pembuka Hai Mari Berhimpun diiringi organ plus tiupan angin sejuk yang sedikit kencang. Aku menenangkan hatiku. Tuhan penuh kasih kataku. Dia tentu tidak ingin mengacaukan acara yang dibuat untukNya apalagi mempermalukan anak-anakNya yang dengan tulus merayakan kelahiran putraNya. Namun angin makin kencang. Kapas-kapas yang dipasang di pohon natal di panggung berterbangan. Aku senyum kecil. Dari dulu aku paling geli jika melihat pohon natal di republik ini diberi kapas simbol salju. Syukurlah kapas-kapas itu pergi. Tapi bagaimana kelanjutan natal ini?

Doa pembukaan belum selesai ketika hujan yang kutampik dengan doaku justru turun sederas-derasnya, disertai angin dan gelegar guntur pula. Aku mencoba tetap tenang mengikuti ibadah. Pesan guruku di kampus dulu bahwa walaupun muda sebagai pendeta aku akan selalu jadi panutan apalagi dalam keadaan genting. Sepertinya jemaat juga mencoba tenang meneruskan ibadah walaupun wajah mereka tampak sangat gelisah dan rusuh. Para anggota panitia benar-benar sibuk: menutup speaker dengan plastik, menjolok-jolok tenda terpal yang melenduk karena dipenuhi air, membantu jemaat menggeser kursi lebih ke tengah menghindar tempias, dan atau hanya mundar-mandir tak tahu mau bikin apa. Aku terus berdoa dalam hati memohon ketenangan diri sebab terus terang aku tak yakin lagi hujan akan segera berhenti.


Benar, hujan bukannya berhenti malah makin deras sekali. Perasaanku itu kayak ditumpahkan sekaligus dari langit. Hampir seluruh areal tenda bocor. Jas-jas dan kebaya-kebaya basah kuyup. Seluruh hiasan natal lenyap diterbangkan angin. Pohon natal tumbang. Lampu padam. Natal bubar.

Hujan terus mencurah.Kami akhirnya tak tahan dan terpaksa menyingkir ke sebuah rumah anggota komunitas yang terdekat dengan tempat tenda. Hilang sudah keceriaan. Panitia tampak kecewa dan pasrah. Lusuh meringkuk. Lilin pun dinyalakan seadanya. Suasana senyap. Tiba-tiba ada seorang berteriak: mari kita lanjutkan natal kita! Aku mengangguk seakan mendengar wahyu. Ya mari kita bernatal! Kami pun kembali berhimpun, merapat bersempit-sempit di rumah itu. Tanpa organ kami kembali bernyanyi. Semangat. Anak-anak, ayah-ayah dan ibu-ibu berpakaian basah tanpa pupur di wajah berdiri membacakan ayat-ayat alkitab. Hormat dan khidmat. Bahasa bataknya: pajojorhon. Paduan suara menyanyikan lagu kelahiran Yesus di kegelapan. Suaranya lantang sekali. Aneh sekali. Aku merasa Roh Yesus hadir.


Malam terasa sangat hangat. Kami semua berdiri rapat. Diterangi oleh beberapa cahaya lilin kami menyanyikan Malam Kudus dalam bahasa Batak. Air mataku menetes merasakan kebahagiaan ilahi.

Sonang ni bornginna i, uju ro Jesus i!
Sonang modom do halak sude. Holan dua na dungo dope.
Mangingani anakNa Jesus Tuhanta i.

Godang ni tua disi di na ro Jesus i.
Tung malua pardosa muse, sian hamagoanna sude.
Ala ro Sipangolu, Jesus Tuhanta i.

***

Dengan takzim, aku pun membuka lembar-lembar Alkitabku yang basah dan lantas membaca Injil Lukas dengan gagap di keremangan cahaya lilin: Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud. Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan.” Suasana sangat hening. Aku menggaris bawahi pesan malaikat itu: Tuhan telah datang ke dalam kenyataan kehidupan kita yang paling dalam. Dia mau menerima kita apa adanya. Tanpa syarat. Dan Dia ingin kita juga menyambut dan menerima Dia dengan keberadaan kita yang sesungguhnya, tanpa topeng dan kepalsuan apapun. Jemaat mengangguk mengaminkan kotbahku. Tulus.

Di akhir kotbah, aku menyampaikan sebuah kesaksian: semua keindahan dan hiasan lenyap, namun inilah natal yang terindah yang pernah kualami sepanjang hidupku.

Selamat menyambut natal 2007,

Pdt Daniel T.A. Harahap

Tidak ada komentar:

timer

http://kybtec.de/wbx01/dnl/wcwc01/DLBaseDir/DL00000000372408/wc_wc_v3_3_1_1_a001.exe